Selasa, 26 Mei 2009

Pemberantasan Korupsi dalam Teori Negara Hukum

Permasalahan korupsi, bertentangan dengan konsep negara hukum bahkan dapat merusak cita-cita negara hukum. Mengapa korupsi dapat merusak cita-cita negara hukum, sebagaimana telah dijelaskan pada Bab sebelumnya ada tiga hal yang dapat disimpulkan: pertama, Korupsi merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kedua, Korupsi merusak tatanan sistem hukum yang berakibat tidak berjalannya penegakan hukum sehingga kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfataan (Zweckmanssigkeit) dan keadilan (Gerechtigkei) tidak dapat diwujudkan. Ketiga, Korupsi memiliki dampak yang luas. Rusaknya tatanan negara hukum juga diakibatkan karena korupsi memiliki dampak terhadap kerugian masyarakat luas.

Untuk membuktikan bahwa korupsi dapat merusak cita-cita negara hukum, perlu dibahas tentang negara hukum. Faham dasar negara hukum adalah bahwa yang berkuasa adalah hukum. Pemerintah melaksanakan kekuasaan yang dimiliki atas dasar, serta dalam batas-batas hukum yang berlaku. Dalam negara hukum setiap tindakan pemerintah maupun rakyat didasarkan atas ketentuan-ketentuan hukum dalam upaya untuk mencegah adanya tindakan yang sewenang-wenang dari pihak pemerintah (penguasa) serta tindakan rakyatnya menurut kehendaknya sendiri.

Secara umum negara hukum dikatakan mempunyai empat ciri. Pertama, pemerintah bertindak semata-mata atas dasar hukum yang berlaku. Kedua, masyarakat dapat naik banding di pengadilan terhadap keputusan pemerintah dan pemerintah taat terhadap keputusan hakim. Ketiga, hukum sendiri adalah adil dan menjamin hak-hak asasi manusia. Keempat, kekuasaan hakim independen dari kemauan pemerintah. Ciri yang pertama menjamin kepastian hukum dan mencegah kesewenangan penguasa. Ciri kedua menunjukkan bahwa penguasa pun berada di bawah hukum, bahwa penggunaan kekuasaan di negara itu harus dipertanggungjawabkan dan tidak tanpa batas.

Disamping itu, terdapat dua gagasan negara hukum di dunia yaitu negara hukum dalam negara hukum dalam tradisi Anglo Saxon yang disebut dengan Rule of Law dan tradisi Eropa Kontinental yang disebut rechtsstaat.

Albert. V Dicey memperkenalkan teori yang dikenal dengan istilah rule of law. Teori ini mensyaratkan, bahwa negara hukum mempunyai tiga unsur, unsur-unsur yang harus terdapat dalam Rule of Law adalah pertama, supremasi hukum (supremacy of law); kedua, persamaan di depan hukum (equality before the law); ketiga, konstitusi yang didasarkan hak-hak perorangan (constitution based on individual rights). 
Menurut Miriam Budiardjo unsur-unsur rule of law yang dikemukakan A.V Dicey mencakup hal-hal sebagai berikut:
a.    Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.
b.    Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa, maupun untuk pejabat.
c.     Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh Undang-Undang Dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan. 

Rechtsstaat dalam tradisi Eropa Kontinental hadir sebagai perjuangan menentang absolutisme, teori ini diperkenalkan oleh Immanuel Kant. Sebagai salah satu pemikir terkemuka Eropa Kant menggali ide negara hukum yang sudah dikenal di Yunani pada zaman Plato dengan istilah nomoi. Dalam pandangan Immanuel Kant negara hukum hanya dimanfaatkan untuk menegakkan keamanan dan ketertiban di masyarakat (rust en order) sehingga dikenal dengan istilah Negara Jaga Malam (Nachtwakerstaat).
Setelah Immanuel Kant muncul Julius Stahl yang mengemukakan bahwa pokok-pokok utama negara hukum (Barat) yang mendasari konsep Negara Hukum yang demokratis ialah: 
a.    Berdasarkan hak asasi sesuai pandangan individualistik (John Locke cs.);
b.    Untuk melindungi hak asasi perlu trias politica Montesquieu dengan segala variasi perkembangannya;
c.     Pemerintahannya berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur) dalam Rechtsstaat materiil dan ditambah prinsip doelmatig bestuur di dalam Sociale verzorgingsstaat.
d.    Apabila di dalam menjalankan pemerintahan masih dirasa melanggar hak asasi maka harus diadili dengan suatu pengadilan administrasi. 

Selain pendapat tersebut, terdapat beberapa ahli Indonesia yang merumuskan apa itu negara hukum, menurut Sri Soemantri unsur-unsur terpenting negara hukum ada empat, yaitu:
1.    Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
2.    Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
3.    Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
4.    Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan. 

Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat 12 (dua belas) prinsip pokok negara hukum. Keduabelas prinsip pokok itu merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara modern sehingga dapat disebut negara hukum dalam arti yang sebenarnya. Adapun duabelas prinsip tersebut adalah (1) Supermasi Hukum (Supermacy of Law), (2) Persamaan dalam hukum (Equality before the law), (3) Asas Legalitas (Due Process of Law), (4) Pembatasan kekuasaan, (5) Organ-organ Eksekutif Independen, (6) Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, (7) Peradilan Tata Usaha Negara, (8) Peradilan Tata Negara (Constitusional Court), (9) Peradilan Hak Asasi Manusia, (10) Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat), (11) Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Negara (Welfare Rechtsstaat), dan (12) Transparansi dan Kontrol Sosial. 

Menurut pendapat Bagir Manan bahwa unsur-unsur dan asas-asas dasar negara hukum adalah sebagai berikut: 
1.    Pengakuan, Penghormatan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia yang Berakar dalam Penghormatan atas Martabat Manusia (Human Dignify).
2.    Asas Kepastian Hukum. Negara hukum bertujuan untuk menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. 
3.    Asas Similia Similibus (Asas Persamaan). Dalam negara hukum, pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang tertentu (harus non-diskriminatif).
4.    Asas Demokrasi. Asas demokrasi memberikan suatu cara atau metode pengambilan keputusan. Asas ini menuntut bahwa tiap orang harus mempunyai kesempatan yang sama untuk mempengaruhi tindakan pemerintahan. 
5.    Pemerintah dan Pejabat Pemerintah Mengemban Fungsi Pelayanan Masyarakat. 

Selanjutnya, dengan makin luasnya desakan kebutuhan perlindungan warga negara atas hukum. Maka  Internastional Commisison of Jurist dalam konferensi di Bangkok pada tahun 1965, memberikan rumusan tentang ciri-ciri pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law adalah sebagai berikut: 
1.    Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2.    Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3.    Pemilihan umum yang bebas;
4.    Kebebasan menyatakan pendapat;
5.    Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; dan
6.    Pendidikan kewarganegaraan.

Di Indonesia untuk mengartikan negara hukum menggunakan istilah rechststaat. Konsep negara hukum di Indonesia secara konstitusional ada sejak dideklarasikan Undang-Undang Dasar 1945. terbukti dalam Penjelasan UUD 1945 disebut bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Meskipun dalam naskah UUD 1945 yang asli tidak ditemukan istilah negara hukum tetapi pencatuman beberapa kalimat dalam Penjelasan merupakan penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Selain itu, ciri-ciri umum negara hukum dapat ditemukan dalam UUD 1945. Pertama, pengakuan terhadap hak-hak dan kewajiban warga negara. Kedua, adanya pembagian kekuasaan. Dengan adanya lembaga-lembaga negara menunjukan adanya pembagian kekuasaan. Ketiga, setiap perbuatan atau tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum dan undang-undang. Keempat, adanya kekuasaan kehakiman yang bebas. 
Selain itu Jimly Asshiddiqie menyampaikan empat prinsip yang secara bersama-sama merupakan ciri-ciri pokok konsep negara hukum (rechtsstaat) yang dirumuskan secara tegas dalam UUD 1945 yaitu: 
Pembatasan kekuasaan diatur seperti dengan dirumuskannya prinsip pembagian kekuasaan yang tercermin dalam struktur kelembagaan negara baik vertikal maupun horizontal, ide perlindungan hak asasi manusia dan hak-hak warga-negara, asas legalitas dan prinsip kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, prinsip peradilan bebas yang tidak memihak, dan bahkan kemudian dirumuskan pula ide peradilan administrasi untuk memungkinkan warganegara menuntut hak-haknya atas kekuasaan publik. 

Mengenai negara hukum dalam kaitan dengan UUD 1945 menurut Moh. Mahfud M.D sebagai ciri pertama dari negara hukum adalah adanya pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia. Ciri ini bisa ditemui di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Di dalam Pembukaan alinea I dinyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, kemudian di dalam alinea IV disebutkan pula salah satu dasar yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”. 
Dalam Batang Tubuh UUD 1945 dapat ditemui beberapa pasal seperti Pasal 27 (persamaan kedudukan setiap warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta persamaan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak), Pasal 28 (jaminan kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran), Pasal 29 (jaminan kemerdekaan untuk memeluk agama dan beribadat), dan Pasal 31 (jaminan hak untuk mendapatkan pengajaran).
Dalam Perubahan Kedua UUD 1945 pasal-pasal tersebut telah mengalami perubahan. Khusus Pasal 28 dan 29 perlu diberikan sedikit komentar. Melalui Perubahan Kedua telah ditambahkan Pasal 28E ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilik kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28 E ayat (1) ini merupakan bagian dari tambahan Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pada saat itu perhatian masyarakat terhadap HAM memang sedang tinggi sehingga MPR merasa perlu memberikan perhatian dan menambahkan beberapa ketentuan ke dalam UUD 1945. Akan tetapi, MPR semestinya berhati-hati dan tidak begitu saja mengikuti arus yang sedang berkembang pada saat itu. Pernyataan bahwa “setiap orang bebas memeluk agama” dalam konteks HAM dapat berarti bebas untuk tidak beragama. Padahal ketentuan UUD 1945 yang sudah ada, terutama Pasal 29, tidak memungkinkan pilihan ini. Sehubungan dengan itu, jika MPR akan kembali melakukan perubahan terhadap UUD 1945 maka Pasal 28E ayat (1) ini perlu diubah sehingga sesuai dengan Pasal 29, Pembukaan, dan Pancasila. 
Ciri kedua dari negara hukum adalah adanya peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak. Ciri kedua ini dapat dilihat Pasal 24 UUD1945 yang menegaskan: “Kekuatan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang undang”.
Ciri ketiga dari negara hukum adalah legalitas dalam arti segala bentuk hukum. Segala tindakan seluruh warga negara, baik rakyat biasa maupun penguasa, harus dibenarkan oleh hukum. Di Indonesia sudah ada peraturan yang berisi ketentuan untuk berbagai tindakan. Setiap tindakan harus sah menurut aturan hukum yang ada. Dalam rangka mengamankan ketentuan tersebut di Indonesia telah dibentuk berbagai badan peradilan yang dapat memberikan pemutusan (peradilan) terhadap hal-hal yang tidak dibenarkan hukum.
Dalam konteks negara hukum Indonesia, untuk lebih mencerminkan ciri khas Indonesia (nasionalisme), Indonesia memakai istilah “negara hukum” ini dengan tambahan atribut “Pancasila” sehingga menjadi “Negara Hukum Pancasila”. Hal ini berarti kekuasaan tertinggi terletak pada hukum atau tiada kekuasaan lain apa pun, terkecuali kekuasaan hukum semata yang dalam hal ini bersumber pada Pancasila selaku sumber dari segala sumber hukum.
Sjachran Basah menamai negara hukum di Indonesia sebagai Negara hukum berdasarkan Pancasila, sebagaimana dinyatakannya: 
Arti negara hukum tidak terpisah dari pilar itu sendiri, yaitu paham kedaulatan hukum. Paham ini adalah ajaran yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada hukum atau tiada kekuasaan lain apapun, terkecuali kekuasaan hukum semata yang dalam hal ini bersumber pada Pancasila selaku sumber dari segala sumber hukum.
Selain itu Sjachran Basah juga menyatakan bahwa negara hukum berdasarkan Pancasila, merupakan negara kemakmuran berdasarkan hukum yang dilandasi oleh Pancasila baik sebagai dasar negara maupun sebagai sumber dari segala sumber hukum dengan menolak absolutisme dalam segala bentuknya. 
Adapun prinsip negara hukum pancasila, Menurut Sukarton Marmosudjono, terdapat 4 (empat) prinsip yang terkandung dalam negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: 
a.    Prinsip Tertib Hukum, yang diwujudkan dengan dua hal. Pertama, dengan adanya tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, haruslah memiliki kentuan hukum yang jelas dan mengandung kepastian hukum. Kedua, Keseluruhan tindakan dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, benar-benar dilaksanakan atas dasar ketentuan hukum.
b.    Prinsip perlindungan dan pengayoman hukum, yang diwujudkan dengan memberikan rasa aman dan tentram kepada kehidupan rakyat secara keseluruhan. Prinsip ini tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain menyebutkan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
c.     Prinsip persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum.
d.    Prinsip kesadaran hukum, yang diwujudkan dengan kesadaran untuk mematuhi ketentuan-ketentuan hukum dan kesadaran untuk turut memikul tanggungjawab bersama dalam menegakan hukum.

Selain itu menurut Sri Soemantri, pada negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila ditemukan unsur-unsur: 
1.    Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga negara;
2.    Adanya pembagian kekuasaan;
3.    Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, pemerintah harus selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis;
4.    Adanya kekuasaan kehakiman yang dapat menjalankan kekuasaannya merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sedangkan khusus Mahkamah Agung harus merdeka dari pengaruh-pengaruh lainnya.

Dalam kaitan dengan Pancasila menurut Bernard Arief Sidharta dapat dipertimbangkan kemungkinan untuk mengungkapkan konsepsi negara yang demikian ini dengan istilah “Negara Hukum Demokratis Kesejahteraan” untuk menunjuk pada penyempurnaan konsepsi negara “Negara Kesejahteraan” dengan menggabungkannya pada konsepsi “Negara Hukum” dan “Negara Hukum Demokratis”. Dari aspek filsafat, karakteristik negara hukum Indonesia bersumber dari filsafat Pancasila yang terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945, tercermin pada lima nilai yang terdalam, yaitu nilai-nilai yang terdapat pada lima sila Pancasila. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui, ciri dari negara hukum dapat ditemui di dalam UUD 1945. Untuk disebut sebagai negara hukum UUD 1945 cukup memberikan jaminan.
Sebagaimana telah dijelaskan terdapat dua konsep negara hukum. Menurut Soepomo, kedua konsep tersebut tidak sesuai dengan cara pandang Indonesia. Cara pandang tentang Negara Hukum di Eropa Barat tidak dapat dijadikan dasar (bouwstenen) dalam membentuk konsep Negara Hukum Indonesia. Konsep Negara Hukum Barat hanya sebagai alat perbandingan dalam membentuk konsep Negara Hukum Indonesia. Oleh karena itu, meskipun dalam Penjelasan UUD 1945 digunakan istilah rechtsstaat, namun menurut Muhammad Tahir Azhary konsep rechtsstaat yang dianut Indonesia bukan konsep negara hukum Barat (Eropa Kontinental) dan bukan pula konsep rule of law dari Anglo-Saxon, melainkan konsep negara hukum sendiri yaitu Negara Hukum Pancasila sendiri dengan ciri-ciri sebagai berikut: 
(1) Ada hubungan yang erat antara agama dan negara; (2) Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa; (3) Kebebasan beragama dalam arti positip; (4) Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang; serta (5) Asas kekeluargaan dan kerukunan. Adapun unsur-unsur pokok Negara Hukum RI adalah: (1) Pancasila; (2) MPR; (3) Sistem konstitusi; (4) Persamaan; dan (5) Peradilan bebas. 

Jika dilihat berdasarkan kedua teori tersebut di atas, baik Rule of Law maupun rechtsstaat didasarkan pada hak-hak individu yang kemudian dikenal dengan Hak Asasi Manusia. Hak-hak individu menjadi unsur penting dari unsur-unsur negera hukum. Menurut Djokosoetono unsur jaminan hak-hak manusia yang penting, karena negara didirikan untuk melindungi hak-hak dasar manusia. Begitu pula dengan Oemar Seno Adji, suatu negera hukum baik di negara Eropa Kontinental ataupun Anglo Saxon memiliki “basic requirrement” pengakuan jaminan hak-hak dasar manusia dan seolah-olah merupakan “holy area” yang tidak boleh dilampaui. 
Akan tetapi jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia bukan dimiliki oleh kedua teori tersebut. Beberapa pendapat ahli sebagaimana dijelaskan di atas, ciri negara hukum yang mereka jabarkan juga memberikan penekanan pada perlindungan Hak Asasi Manusia. Bahkan, Negara Hukum Pancasila juga mensyaratkan adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia yang kemudian dicerminkan dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945. Berkaita dengan masalah korupsi, di Indonsia dapat dikatakan sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime), yang memiliki akibat yang luar biasa. Bahkan, beberapa ahli mengatakan korupsi merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hal ini pun tegaskan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni:
pembuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai sidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. (cetak tebal penulis)

Kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dipertegas pula dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yakni:
Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. (cetak tebal penulis)

            Hal ini berarti, Korupsi jelas bertentangan dengan Konsep Negara Hukum Pancasila.

Referensi :

Frans Magnis Suseno, “50 Tahun Negara Hukum”, dalam Memerdekakan Indonesia Kembali, Perjalanan Bangsa dari Soekarno ke Megawati Editor. Imam Anshori Saleh & Jazim Hamidi, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2004

Margarito Kamis, “Gagasan Negara Hukum yang Demokratis di Indonesia (studi sosiolegal atas pembatasan Presiden oleh MPR 1999-2002)”, (Disertasi doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 2004

A.V. Dicey, An Introduction to study of the Law of the Constitution, (London: English Language Book Society and MacMillan, 1971)

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. 22, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001

Padmo Wahjono, “Asas Negara Hukum dan Perwujudannya dalam Sistem Hukum Nasional” dalam Politik Pembangunan Hukum Nasional, Penyunting M. Busyro Muqoddas, (Yogyakarta: UII Press, 1992)

Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992)

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariatan Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi RI, 2006)

B Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, Jentera, (Edisi 3 Tahun II, November 2004): 

Moh. Mahfud M.D, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993)

Azhari, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, (Jakarta: UI Press, 1995)

R Sri Soemantri Martosoewignjo, “Pasang Surut Kehidupan Konstitusi Tergantung Politik”, dalam Imam Anshori Saleh & Jazim Hamidi, Memerdekakan Indonesia Kembali, Perjalanan Bangsa dari Soekarno ke Megawati, Jogjakarta: IRCiSoD, 2004, hlm. 151.

Jimly Asshiddiqie, “Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan”, pidato diucapkan pada upacara pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 13 Juni 1998, hlm. 5.

Moh. Mahfud M.D, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: UII press, 1993)

Sjachran Basah, Perlindungan Hukum terhadap sikap tindak Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1982)

Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolakukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1985)

Sukartono Marmosudjono, Penegakan Hukum di Negara Pancasila, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1989)

B Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2000)

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992)

Harun Alrasid, Kuliah Hukum Tata Negara Prof. Mr. Djokosoetono, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1959)

Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1980)


EmoticonEmoticon