Permasalahan korupsi,
bertentangan dengan konsep negara hukum bahkan dapat merusak cita-cita negara
hukum. Mengapa korupsi dapat merusak cita-cita negara hukum, sebagaimana telah
dijelaskan pada Bab sebelumnya ada tiga hal yang dapat disimpulkan: pertama, Korupsi
merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kedua, Korupsi merusak tatanan sistem
hukum yang berakibat tidak berjalannya penegakan hukum sehingga kepastian hukum
(Rechtssicherheit), kemanfataan (Zweckmanssigkeit) dan keadilan (Gerechtigkei) tidak dapat diwujudkan.
Ketiga, Korupsi memiliki dampak yang luas. Rusaknya tatanan negara hukum juga
diakibatkan karena korupsi memiliki dampak terhadap kerugian masyarakat luas.
Untuk membuktikan bahwa
korupsi dapat merusak cita-cita negara hukum, perlu dibahas tentang negara
hukum. Faham dasar negara hukum adalah bahwa yang berkuasa adalah hukum.
Pemerintah melaksanakan kekuasaan yang dimiliki atas dasar, serta dalam
batas-batas hukum yang berlaku. Dalam negara hukum setiap tindakan pemerintah
maupun rakyat didasarkan atas ketentuan-ketentuan hukum dalam upaya untuk
mencegah adanya tindakan yang sewenang-wenang dari pihak pemerintah (penguasa)
serta tindakan rakyatnya menurut kehendaknya sendiri.
Secara umum negara hukum
dikatakan mempunyai empat ciri. Pertama, pemerintah bertindak semata-mata atas
dasar hukum yang berlaku. Kedua, masyarakat dapat naik banding di pengadilan
terhadap keputusan pemerintah dan pemerintah taat terhadap keputusan hakim.
Ketiga, hukum sendiri adalah adil dan menjamin hak-hak asasi manusia. Keempat,
kekuasaan hakim independen dari kemauan pemerintah. Ciri yang pertama menjamin
kepastian hukum dan mencegah kesewenangan penguasa. Ciri kedua menunjukkan
bahwa penguasa pun berada di bawah hukum, bahwa penggunaan kekuasaan di negara
itu harus dipertanggungjawabkan dan tidak tanpa batas.
Disamping itu, terdapat
dua gagasan negara hukum di dunia yaitu negara hukum dalam negara hukum dalam
tradisi Anglo Saxon yang disebut
dengan Rule of Law dan tradisi Eropa
Kontinental yang disebut rechtsstaat.
Albert. V Dicey
memperkenalkan teori yang dikenal dengan istilah rule of law. Teori ini mensyaratkan, bahwa negara hukum mempunyai
tiga unsur, unsur-unsur yang harus terdapat dalam Rule of Law adalah pertama, supremasi hukum (supremacy of law); kedua, persamaan di depan hukum (equality before the law); ketiga,
konstitusi yang didasarkan hak-hak perorangan (constitution based on individual rights).
Menurut Miriam Budiardjo
unsur-unsur rule of law yang
dikemukakan A.V Dicey mencakup hal-hal sebagai berikut:
a.
Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy
of the law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh
dihukum kalau melanggar hukum.
b.
Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa,
maupun untuk pejabat.
c.
Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain
oleh Undang-Undang Dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.
Rechtsstaat dalam tradisi Eropa Kontinental hadir sebagai
perjuangan menentang absolutisme, teori ini diperkenalkan oleh Immanuel Kant.
Sebagai salah satu pemikir terkemuka Eropa Kant menggali ide negara hukum yang
sudah dikenal di Yunani pada zaman Plato dengan istilah nomoi. Dalam pandangan Immanuel Kant negara hukum hanya
dimanfaatkan untuk menegakkan keamanan dan ketertiban di masyarakat (rust en order) sehingga dikenal dengan
istilah Negara Jaga Malam (Nachtwakerstaat).
Setelah Immanuel Kant
muncul Julius Stahl yang mengemukakan bahwa pokok-pokok utama negara hukum
(Barat) yang mendasari konsep Negara Hukum yang demokratis ialah:
a.
Berdasarkan hak asasi sesuai pandangan individualistik (John Locke
cs.);
b.
Untuk melindungi hak asasi perlu trias politica Montesquieu dengan
segala variasi perkembangannya;
c.
Pemerintahannya berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur) dalam Rechtsstaat
materiil dan ditambah prinsip doelmatig
bestuur di dalam Sociale
verzorgingsstaat.
d.
Apabila di dalam menjalankan pemerintahan masih dirasa melanggar
hak asasi maka harus diadili dengan suatu pengadilan administrasi.
Selain pendapat
tersebut, terdapat beberapa ahli Indonesia yang merumuskan apa itu negara
hukum, menurut Sri Soemantri unsur-unsur terpenting negara hukum ada empat,
yaitu:
1.
Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
2.
Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
3.
Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
4.
Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.
Menurut Jimly
Asshiddiqie, terdapat 12 (dua belas) prinsip pokok negara hukum. Keduabelas
prinsip pokok itu merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya
suatu negara modern sehingga dapat disebut negara hukum dalam arti yang
sebenarnya. Adapun duabelas prinsip tersebut adalah (1) Supermasi Hukum (Supermacy of Law), (2) Persamaan dalam
hukum (Equality before the law), (3)
Asas Legalitas (Due Process of Law),
(4) Pembatasan kekuasaan, (5) Organ-organ Eksekutif Independen, (6) Peradilan
Bebas dan Tidak Memihak, (7) Peradilan Tata Usaha Negara, (8) Peradilan Tata
Negara (Constitusional Court), (9)
Peradilan Hak Asasi Manusia, (10) Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat), (11) Berfungsi sebagai Sarana
Mewujudkan Tujuan Negara (Welfare
Rechtsstaat), dan (12) Transparansi dan Kontrol Sosial.
Menurut pendapat Bagir
Manan bahwa unsur-unsur dan asas-asas dasar negara hukum adalah sebagai
berikut:
1.
Pengakuan, Penghormatan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia yang
Berakar dalam Penghormatan atas Martabat Manusia (Human Dignify).
2.
Asas Kepastian Hukum. Negara hukum bertujuan untuk menjamin bahwa
kepastian hukum terwujud dalam masyarakat.
3.
Asas Similia Similibus (Asas Persamaan). Dalam negara hukum,
pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang tertentu (harus
non-diskriminatif).
4.
Asas Demokrasi. Asas demokrasi memberikan suatu cara atau metode
pengambilan keputusan. Asas ini menuntut bahwa tiap orang harus mempunyai
kesempatan yang sama untuk mempengaruhi tindakan pemerintahan.
5.
Pemerintah dan Pejabat Pemerintah Mengemban Fungsi Pelayanan
Masyarakat.
Selanjutnya, dengan
makin luasnya desakan kebutuhan perlindungan warga negara atas hukum. Maka Internastional Commisison of Jurist
dalam konferensi di Bangkok pada tahun 1965, memberikan rumusan tentang
ciri-ciri pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law adalah sebagai
berikut:
1.
Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak
individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2.
Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3.
Pemilihan umum yang bebas;
4.
Kebebasan menyatakan pendapat;
5.
Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; dan
6.
Pendidikan kewarganegaraan.
Di Indonesia untuk
mengartikan negara hukum menggunakan istilah rechststaat. Konsep negara hukum di Indonesia secara konstitusional
ada sejak dideklarasikan Undang-Undang Dasar 1945. terbukti dalam Penjelasan
UUD 1945 disebut bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat) tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (Machtsstaat). Meskipun
dalam naskah UUD 1945 yang asli tidak ditemukan istilah negara hukum tetapi
pencatuman beberapa kalimat dalam Penjelasan merupakan penegasan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Selain itu, ciri-ciri umum negara hukum dapat
ditemukan dalam UUD 1945. Pertama, pengakuan terhadap hak-hak dan kewajiban
warga negara. Kedua, adanya pembagian kekuasaan. Dengan adanya lembaga-lembaga
negara menunjukan adanya pembagian kekuasaan. Ketiga, setiap perbuatan atau
tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum dan undang-undang. Keempat, adanya
kekuasaan kehakiman yang bebas.
Selain itu Jimly
Asshiddiqie menyampaikan empat prinsip yang secara bersama-sama merupakan
ciri-ciri pokok konsep negara hukum (rechtsstaat)
yang dirumuskan secara tegas dalam UUD 1945 yaitu:
Pembatasan kekuasaan diatur seperti dengan dirumuskannya
prinsip pembagian kekuasaan yang tercermin dalam struktur kelembagaan negara
baik vertikal maupun horizontal, ide perlindungan hak asasi manusia dan hak-hak
warga-negara, asas legalitas dan prinsip kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan, prinsip peradilan bebas yang tidak memihak, dan bahkan kemudian
dirumuskan pula ide peradilan administrasi untuk memungkinkan warganegara
menuntut hak-haknya atas kekuasaan publik.
Mengenai negara hukum
dalam kaitan dengan UUD 1945 menurut Moh. Mahfud M.D sebagai ciri pertama dari
negara hukum adalah adanya pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi
manusia. Ciri ini bisa ditemui di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Di
dalam Pembukaan alinea I dinyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa,
kemudian di dalam alinea IV disebutkan pula salah satu dasar yaitu “kemanusiaan
yang adil dan beradab”.
Dalam Batang Tubuh UUD
1945 dapat ditemui beberapa pasal seperti Pasal 27 (persamaan kedudukan setiap
warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta persamaan hak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak), Pasal 28 (jaminan kemerdekaan untuk berserikat dan
berkumpul serta mengeluarkan pikiran), Pasal 29 (jaminan kemerdekaan untuk
memeluk agama dan beribadat), dan Pasal 31 (jaminan hak untuk mendapatkan
pengajaran).
Dalam Perubahan Kedua
UUD 1945 pasal-pasal tersebut telah mengalami perubahan. Khusus Pasal 28 dan 29
perlu diberikan sedikit komentar. Melalui Perubahan Kedua telah ditambahkan
Pasal 28E ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilik kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28 E ayat (1) ini
merupakan bagian dari tambahan Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pada
saat itu perhatian masyarakat terhadap HAM memang sedang tinggi sehingga MPR
merasa perlu memberikan perhatian dan menambahkan beberapa ketentuan ke dalam
UUD 1945. Akan tetapi, MPR semestinya berhati-hati dan tidak begitu saja
mengikuti arus yang sedang berkembang pada saat itu. Pernyataan bahwa “setiap
orang bebas memeluk agama” dalam konteks HAM dapat berarti bebas untuk tidak
beragama. Padahal ketentuan UUD 1945 yang sudah ada, terutama Pasal 29, tidak
memungkinkan pilihan ini. Sehubungan dengan itu, jika MPR akan kembali
melakukan perubahan terhadap UUD 1945 maka Pasal 28E ayat (1) ini perlu diubah
sehingga sesuai dengan Pasal 29, Pembukaan, dan Pancasila.
Ciri kedua dari negara
hukum adalah adanya peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau
kekuatan lain dan tidak memihak. Ciri kedua ini dapat dilihat Pasal 24 UUD1945
yang menegaskan: “Kekuatan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
lain-lain badan kehakiman menurut undang undang”.
Ciri ketiga dari negara
hukum adalah legalitas dalam arti segala bentuk hukum. Segala tindakan seluruh
warga negara, baik rakyat biasa maupun penguasa, harus dibenarkan oleh hukum.
Di Indonesia sudah ada peraturan yang berisi ketentuan untuk berbagai tindakan.
Setiap tindakan harus sah menurut aturan hukum yang ada. Dalam rangka
mengamankan ketentuan tersebut di Indonesia telah dibentuk berbagai badan
peradilan yang dapat memberikan pemutusan (peradilan) terhadap hal-hal yang
tidak dibenarkan hukum.
Dalam konteks negara
hukum Indonesia, untuk lebih mencerminkan ciri khas Indonesia (nasionalisme),
Indonesia memakai istilah “negara hukum” ini dengan tambahan atribut
“Pancasila” sehingga menjadi “Negara Hukum Pancasila”. Hal ini berarti
kekuasaan tertinggi terletak pada hukum atau tiada kekuasaan lain apa pun,
terkecuali kekuasaan hukum semata yang dalam hal ini bersumber pada Pancasila
selaku sumber dari segala sumber hukum.
Sjachran Basah menamai
negara hukum di Indonesia sebagai Negara hukum berdasarkan Pancasila,
sebagaimana dinyatakannya:
Arti negara hukum tidak terpisah dari pilar itu
sendiri, yaitu paham kedaulatan hukum. Paham ini adalah ajaran yang menyatakan
bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada hukum atau tiada kekuasaan lain apapun,
terkecuali kekuasaan hukum semata yang dalam hal ini bersumber pada Pancasila
selaku sumber dari segala sumber hukum.
Selain itu Sjachran
Basah juga menyatakan bahwa negara hukum berdasarkan Pancasila, merupakan negara
kemakmuran berdasarkan hukum yang dilandasi oleh Pancasila baik sebagai dasar
negara maupun sebagai sumber dari segala sumber hukum dengan menolak
absolutisme dalam segala bentuknya.
Adapun prinsip negara
hukum pancasila, Menurut Sukarton Marmosudjono, terdapat 4 (empat) prinsip yang
terkandung dalam negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 yaitu:
a.
Prinsip Tertib Hukum, yang diwujudkan dengan dua hal. Pertama,
dengan adanya tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
haruslah memiliki kentuan hukum yang jelas dan mengandung kepastian hukum.
Kedua, Keseluruhan tindakan dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara,
benar-benar dilaksanakan atas dasar ketentuan hukum.
b.
Prinsip perlindungan dan pengayoman hukum, yang diwujudkan dengan
memberikan rasa aman dan tentram kepada kehidupan rakyat secara keseluruhan.
Prinsip ini tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain
menyebutkan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia”.
c.
Prinsip persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum.
d.
Prinsip kesadaran hukum, yang diwujudkan dengan kesadaran untuk
mematuhi ketentuan-ketentuan hukum dan kesadaran untuk turut memikul
tanggungjawab bersama dalam menegakan hukum.
Selain itu menurut Sri
Soemantri, pada negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila ditemukan
unsur-unsur:
1.
Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga
negara;
2.
Adanya pembagian kekuasaan;
3.
Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, pemerintah harus
selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis;
4.
Adanya kekuasaan kehakiman yang dapat menjalankan kekuasaannya
merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sedangkan khusus
Mahkamah Agung harus merdeka dari pengaruh-pengaruh lainnya.
Dalam kaitan dengan
Pancasila menurut Bernard Arief Sidharta dapat dipertimbangkan kemungkinan
untuk mengungkapkan konsepsi negara yang demikian ini dengan istilah “Negara
Hukum Demokratis Kesejahteraan” untuk menunjuk pada penyempurnaan konsepsi
negara “Negara Kesejahteraan” dengan menggabungkannya pada konsepsi “Negara
Hukum” dan “Negara Hukum Demokratis”. Dari aspek filsafat, karakteristik negara
hukum Indonesia bersumber dari filsafat Pancasila yang terdapat di dalam
Pembukaan UUD 1945, tercermin pada lima nilai yang terdalam, yaitu nilai-nilai
yang terdapat pada lima sila Pancasila. Berdasarkan uraian di atas dapat
diketahui, ciri dari negara hukum dapat ditemui di dalam UUD 1945. Untuk
disebut sebagai negara hukum UUD 1945 cukup memberikan jaminan.
Sebagaimana telah
dijelaskan terdapat dua konsep negara hukum. Menurut Soepomo, kedua konsep
tersebut tidak sesuai dengan cara pandang Indonesia. Cara pandang tentang
Negara Hukum di Eropa Barat tidak dapat dijadikan dasar (bouwstenen) dalam
membentuk konsep Negara Hukum Indonesia. Konsep Negara Hukum Barat hanya
sebagai alat perbandingan dalam membentuk konsep Negara Hukum Indonesia. Oleh
karena itu, meskipun dalam Penjelasan UUD 1945 digunakan istilah rechtsstaat,
namun menurut Muhammad Tahir Azhary konsep rechtsstaat yang dianut Indonesia
bukan konsep negara hukum Barat (Eropa Kontinental) dan bukan pula konsep rule
of law dari Anglo-Saxon, melainkan konsep negara hukum sendiri yaitu Negara
Hukum Pancasila sendiri dengan ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Ada hubungan yang erat antara agama dan
negara; (2) Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa; (3) Kebebasan beragama dalam
arti positip; (4) Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang; serta (5)
Asas kekeluargaan dan kerukunan. Adapun unsur-unsur pokok Negara Hukum RI
adalah: (1) Pancasila; (2) MPR; (3) Sistem konstitusi; (4) Persamaan; dan (5)
Peradilan bebas.
Jika dilihat berdasarkan
kedua teori tersebut di atas, baik Rule
of Law maupun rechtsstaat
didasarkan pada hak-hak individu yang kemudian dikenal dengan Hak Asasi
Manusia. Hak-hak individu menjadi unsur penting dari unsur-unsur negera hukum.
Menurut Djokosoetono unsur jaminan hak-hak manusia yang penting, karena negara
didirikan untuk melindungi hak-hak dasar manusia. Begitu pula dengan Oemar Seno
Adji, suatu negera hukum baik di negara Eropa Kontinental ataupun Anglo Saxon memiliki “basic requirrement” pengakuan jaminan
hak-hak dasar manusia dan seolah-olah merupakan “holy area” yang tidak boleh
dilampaui.
Akan tetapi jaminan
perlindungan Hak Asasi Manusia bukan dimiliki oleh kedua teori tersebut.
Beberapa pendapat ahli sebagaimana dijelaskan di atas, ciri negara hukum yang
mereka jabarkan juga memberikan penekanan pada perlindungan Hak Asasi Manusia.
Bahkan, Negara Hukum Pancasila juga mensyaratkan adanya jaminan terhadap Hak
Asasi Manusia yang kemudian dicerminkan dalam pembukaan dan batang tubuh UUD
1945. Berkaita dengan masalah korupsi, di Indonsia dapat dikatakan sebagai
kejahatan yang luar biasa (extraordinary
crime), yang memiliki akibat yang luar biasa. Bahkan, beberapa ahli
mengatakan korupsi merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hal ini pun
tegaskan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni:
pembuatan
korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada
gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai sidang. Untuk itu,
upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan
diintensifkan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan
masyarakat. (cetak tebal penulis)
Kemudian diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yang dipertegas pula dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yakni:
Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia
terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan
negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat
secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. (cetak tebal penulis)
Hal
ini berarti, Korupsi jelas bertentangan dengan Konsep Negara Hukum Pancasila.
Referensi :
Frans Magnis Suseno, “50 Tahun Negara Hukum”,
dalam Memerdekakan Indonesia Kembali, Perjalanan Bangsa dari Soekarno ke
Megawati Editor. Imam Anshori Saleh & Jazim Hamidi, (Jogjakarta:
IRCiSoD, 2004
Margarito Kamis, “Gagasan Negara Hukum yang
Demokratis di Indonesia (studi sosiolegal atas pembatasan Presiden oleh MPR
1999-2002)”, (Disertasi doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 2004
A.V. Dicey, An Introduction to study of the Law
of the Constitution, (London: English Language Book Society and MacMillan,
1971)
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet.
22, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001
Padmo Wahjono, “Asas Negara Hukum dan
Perwujudannya dalam Sistem Hukum Nasional” dalam Politik Pembangunan Hukum
Nasional, Penyunting M. Busyro Muqoddas, (Yogyakarta: UII Press, 1992)
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara
Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992)
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi &
Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariatan Jendral dan Kepaniteraan
Konstitusi RI, 2006)
B Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang
Negara Hukum”, Jentera, (Edisi 3 Tahun II, November 2004):
Moh. Mahfud M.D, Demokrasi dan Konstitusi di
Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993)
Azhari, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis
Normatif tentang Unsur-unsurnya, (Jakarta: UI Press, 1995)
R Sri Soemantri Martosoewignjo, “Pasang Surut
Kehidupan Konstitusi Tergantung Politik”, dalam Imam Anshori Saleh &
Jazim Hamidi, Memerdekakan Indonesia Kembali, Perjalanan Bangsa dari Soekarno
ke Megawati, Jogjakarta: IRCiSoD, 2004, hlm. 151.
Jimly Asshiddiqie, “Undang-Undang Dasar 1945:
Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan”, pidato diucapkan pada
upacara pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Depok 13 Juni 1998, hlm. 5.
Moh. Mahfud M.D, Dasar dan Struktur
Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: UII press, 1993)
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum terhadap
sikap tindak Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1982)
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolakukur Badan
Peradilan Administrasi di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1985)
Sukartono Marmosudjono, Penegakan Hukum di
Negara Pancasila, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1989)
B Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu
Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2000)
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi
tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada
periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992)
Harun Alrasid, Kuliah Hukum Tata Negara Prof.
Mr. Djokosoetono, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1959)
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum,
(Jakarta: Erlangga, 1980)
EmoticonEmoticon