Minggu, 27 Agustus 2017

Contoh Surat Kuasa Khusus Pengadilan Tata Usaha Negara

SURAT KUASA KHUSUS
NOMOR : 06/SKK.TUN/X/2008
Yang bertanda tangan di bawah ini adalah :
1.    N a m a                       :   Akhmad Syarif
Kewarganegaraan      :   Indonesia
Pekerjaan                   :   Swasta
Tempat tinggal            :  Jl. Harapan Mulya Kecamatan Duri Bukit Kabupaten Tegal Panas 
                                      Kode Pos 10640
Untuk selanjutnya disebut sebagai pihak pemberi kuasa, yang dalam hal ini memilih tempat kediaman hukum (domisili) di kantor kuasanya, dengan ini menerangkan memberi kuasa kepada :
----------------------------- SONTOLOYONO,  SH.,MH.-------- --------------------
Kewarganegaraan Indonesia, Profesi Advokat pada kantor Advokat Sontoloyono, SH., MH Yang beralamat di Jalan Pancing Nomor : 13 Kabupaten Tegal Panas.
 ----------------------------------------K H U S U S ---------------------------------------
Untuk dan atas nama serta guna kepentingan hukum pemberi kuasa, penerima kuasa dikuasakan mewakili pemberi kuasa guna mengajukan gugatan mengenai pembatalan Keputusan tata usaha Negara berupa Keputusan Bupati Tegal Panas  Nomor : 703 / IMB /331/IV/2008 tanggal 13 April 2008, Tentang Ijin Mendirikan Bangunan Tower Telekomunikasi atas nama PT. Timbul Tenggelam yang terletak di Desa Mulya Harapan  Kec. Mayor Kemang, Kab. Tegal Panas  terhadap Bupati Tegal Panas yang bertempat kedudukan di Jl. Jenderal Sukiman No. 69 Tegal Panas, Di Pengadilan Tata Usaha Negara Tegal Panas.

Atas pemberian kuasa ini penerima kuasa berhak membuat dan menandatangani surat gugatan, mewakili pemberi kuasa untuk menghadap dan menghadiri sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara Tegal Panas, membuat/mengajukan replik, mengajukan bukti-bukti berupa surat-surat maupun saksi-saksi, membuat/mengajukan kesimpulan (konklusi), membela hak-hak serta mengurus kepentingan kepentingan pemberi kuasa, menghadap dan berbicara kepada Hakim-hakim, Pejabat-pejabat, Instansi-instansi terkait, begitu pula penerima kuasa diberi hak untuk membuat segala macam surat-surat dan  menandatanganinya, untuk selanjutnya melakukan tindakan tindakan yang perlu dan berguna bagi kepentingan pemberi kuasa, termasuk melakukan upaya hukum banding, membuat, menandatangani, menyerahkan memori banding, kontra memori banding, dan melakukan upaya hukum kasasi membuat, menandatangani, menyerahkan memori kasasi, kontra memori kasasi, atau dengan kata lain bahwapenerima kuasa diberi hak dengan seluas-luasnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukumyang berlaku guna membela kepentingan pemberi kuasa dalam perkara tersebut di atas.

------------------ Demikian kuasa ini diberikan agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, dengan hak retensi serta hak subtitusi baik sebagian maupun seluruhnya yang dikuasakan ini kepada lain orang. -----------

Tegal Panas, 11 Oktober 2010
Penerima Kuasa                                                                             Pemberi Kuasa


materai 6000                                                                                  materai 6000


Sontoloyono, SH., MH                                                                    Akhmad Syarif

Read More

Sistem Pemeriksaan Gugatan Konvensi dan Rekonvensi

konvensi dan rekonvensi
Sistem Pemeriksaan Gugatan Konvensi dan Rekonvensi

Pengaturan mengenai sistem pemeriksaan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi diatur dalam Pasal 132b ayat 3 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”).
Terdapat 2 (dua) sistem pemeriksaan penyelesaian, yaitu:
1. Gugatan Konvensi dan Rekonvensi diperiksa serta diputus sekaligus dalam satu putusan.
Sistem ini merupakan aturan umum (general rule) yang menggariskan proses pemeriksaan dan penyelesaian gugatan konvensi dan rekonvensi, dengan syarat:
·    Dilakukan secara bersamaan dalam satu proses pemeriksaan, sesuai dengan tata tertib beracara yang digariskan undang-undang, yaitu adanya keterbukaan hak untuk mengajukan eksepsi, jawaban, replik, duplik, pembuktian dan konklusi baik pada konvensi dan rekonvensi. Proses pemeriksaan dituangkan dalam satu berita acara yang sama.
·    Selanjutnya, hasil pemeriksaan diselesaikan secara bersamaan dalam satu putusan, dengan sistematika:
  1. Penempatan uraian putusan konvensi pada bagian awal, meliputi dalil gugatan konvensi, petitum gugatan konvensi, uraian pertimbangan konvensi dan kesimpulan hukum gugatan konvensi).
  2. Kemudian, uraian gugatan rekonvensi yang meliputi hal-hal yang sama dengan substansi gugatan konvensi.
  3. Amar putusan sebagai bagian terakhir, terdiri dari amar putusan dalam konvensi dan dalam rekonvensi.
Penerapan sistem yang demikian, sesuai dengan penyelesaian setiap perkara kumulasi. Oleh karena itu, harus diselesaikan secara bersamaan dan serentak dalam satu proses pemeriksaan yang sama, dan dituangkan pula dalam satu putusan yang sama di bawah nomor register yang sama dan pengucapan putusan dilakukan pada waktu dan hari yang sama pula.
2. Diperbolehkan dilakukan proses pemeriksaan secara terpisah
Pengecualian tata cara pemeriksaan konvensi dan rekonvensi secara bersamaan dan serentak, juga diatur dalam Pasal 132b ayat 3 HIR, dengan penerapan sebagai berikut:
a. Pemeriksaaan dilakukan secara terpisah tetapi dijatuhkan dalam satu putusan
Apabila antara konvensi dan rekonvensi benar tidak mengandung koneksitas sehingga dilakukan perlakuan pemeriksaan yang sangat berbeda dan berlainan, yaitu:
1.   Boleh dilakukan pemeriksaan yang terpisah antara konvensi dan rekonvensi.
2.   Masing-masing pemeriksaan dituangkan dalam berita acara sidang yang berlainan.
3.   Cara proses pemeriksaan:
- Proses pemeriksaan gugatan konvensi dituntaskan terlebih dahulu, namun penjatuhan putusan sampai selesai pemeriksaan gugatan rekonvensi.
-Menyusul penyelesaian pemeriksaan gugatan rekonvensi.
4. Penyelesaian akhir dijatuhkan dalam satu putusan dengan register nomor perkara yang sama.
5. Diucapkan pada waktu dan hari yag sama.

b. Pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan diputuskan dalam putusan yang berbeda
Pada sistem ini, meskipun secara teknis yustisial nomor registernya sama dengan kode konvensi dan rekonvensi, terdapat 2 (dua) putusan yang terdiri dari putusan konvensi dan putusan rekonvensi.
Masing-masing penggugat konvensi dan rekonvensi dapat mengajukan banding terhadap putusan yang bersangkutan. Tenggang waktu untuk mengajukan banding tunduk pada ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 yaitu 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan dijatuhkan atau 14 (empat belas) hari dari tanggal putusan diberitahukan.
Adapun dasar alasan kebolehan melakukan pemeriksaan secara terpisah antara konvensi dan rekonvensi, tidak dijelaskan dalam undang-undang, dan sepenuhnya diserahkan pada penilaian pertimbangan hakim.
Namun, alasan yang dianggap rasional secara umum adalah apabila antara keduanya tidak terdapat keterkaitan (koneksitas) yang erat, sehingga memerlukan penyelesaian dan penanganan yang terpisah.
Read More

Sabtu, 26 Agustus 2017

Bantahan Terhadap Pokok Perkara

Bantahan Terhadap Pokok Perkara
Dalam hukum acara perdata, setiap orang dan/atau badan hukum yang digugat oleh penggugat di pengadilan, disebut sebagai tergugat dan diberikan hak untuk mengajukan jawaban dan bantahan terhadap pokok perkara dalam gugatan penggugat tersebut.
Bantahan yaitu upaya tangkisan atau pembelaan yang diajukan tergugat terhadap pokok perkara. Pengertian ini dapat pula diartikan:
·       Jawaban tergugat mengenai pokok perkara;
·       Bantahan yang langsung ditujukan tergugat terhadap pokok perkara.
Intisari (esensi) dari bantahan terhadap pokok perkara, berisi alasan dan penegasan yang sengaja dibuat dan dikemukakan tergugat, baik secara lisan maupun secara tulisan dengan maksud untuk menyanggah atau menyangkal kebenaran dalil gugatan yang dituangkan tergugat dalam jawabannya. Dengan kata lain, bantahan terhadap pokok perkara disampaikan dalam jawaban tergugat untuk menolak dalil gugatan penggugat.
Secara teknis, pemeriksaan perkara menjalani proses jawab-menjawab di sidang pengadilan sebagaimana digariskan dalam ketentuan Pasal 142 Rv yang menegaskan para pihak dapat saling menyampaikan surat jawaban serta replik dan duplik.
Berkaitan erat dengan isi jawaban, maka jawaban tergugat dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Jawaban berisi pengakuan (bekentenis);
Tergugat boleh dan dibenarkan memberi jawaban yang berisi pengakuan (confession) terhadap sebagian maupun seluruh dalil gugatan penggugat. Tergugat harus sadar bahwa pengakuan terhadap dalil gugatan yang disampaikan dalam jawaban maupun duplik, erat kaitannya dengan sistem pembuktian. Sampai sekarang, Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 KUH Perdata masih menempatkan pengakuan sebagai alat bukti

2. Jawaban berisi membantah dalil gugatan;
Hal inilah yang disebut dengan bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale), semua dalil gugatan penggugat dibantah keberadaan dan kebenarannya. Sasaran bantahan, secara teori dan praktek ditujukan kepada 2 (dua) hal, yaitu: (1) kebenaran dalil gugatan dan (2) arah kejadian atau fakta hukum. Oleh karena itu, tergugat harus mempersiapkan dengan jeli dan cerdas dalam mempersiapkan alat bukti pada proses pembuktian untuk mendukung bantahannya terhadap dalil gugatan penggugat. Sebagai tambahan penjelasan, perumusan bantahan dalam jawaban dapat dibarengi dengan eksepsi. Jawaban dengan pola seperti ini harus dirumuskan secara sistematis sehingga jelas bagian mana yang berisi eksepsi dan bagian mana yang memuat bantahan pokok perkara. Tujuannya, untuk memudahkan hakim mempelajarinya.

3. Jawaban tidak memberi pengakuan maupun bantahan.

Sikap lain yang dapat dipilih tergugat, tidak mengakui dan tidak membantah. Jawaban hanya berisi pernyataan, menyerahkan sepenuhnya kebenaran gugatan kepada hakim (referte aan het oordel des rechters), Jadi tergugat menyerahkan sepenuhnya penilaian kebenaran dalil gugatan kepada hakim. Adapun sikap tergugat seperti ini, maka yang harus diperhatikan tergugat adalah bahwa sikap itu dinyatakan secara tegas dalam jawabannya, oleh karenanya sikap menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim untuk menilai kebenaran dalil gugatan tidak dapat diterapkan secara diam-diam. Di lain sisi, hakim juga tidak diperbolehkan untuk menilai sikap penyerahan penilaian dari tergugat sebagai suatu pengakuan, karena sikap tergugat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti untuk menguatkan dalil gugatan.
Read More